Selasa, 02 Juni 2009

Menimbang pendidikan nasional


Pasal 31 UUD 1945 secara tegas memerintahkan kepada Negara Republik Indonesia, bahwa: Setiap warga Negara berhak atas pendidikan dan pemerintah wajib membiayai, tegasnya pemerintah berkewajiban untuk mencerdaskan, memakmurkan, menciptakan rasa aman, menjamin persamaan hak di depan hukum, menegakkan serta memenuhi hak asasi warga Negara Indonesia.

Indonesia telah terpuruk dan menjadi miskin sejak tahun 1997. Sejak itu secara makro Indonesia belum bangkit dari keterpurukan dan kemiskinan di berbagai sektor termasuk kemiskinan rasa. Hampir semua kalangan berbicara tentang kemiskinan dan upaya-upaya penanggulangannya. Sebagian besar mendiskusikan upaya penanggulan kemiskinan dengan cara menggelar seminar-seminar atau workshop di hotel-hotel berbintang dan di luar kota. Dari hasil seminar tersebut disimpulkan bahwa kemiskinan terjadi karena tingkat pendidikan kita yang masih rendah. Besarnya minat masyarakat terhadap pendidikan menyebabkan hampir semua kalangan baik yang berpendidikan tinggi maupun berpendidikan biasa mulai menggeluti dunia pendidikan.

Tujuan pendidikan adalah memberdayakan warga negara untuk dapat membuat pilihan yang bijak dan penuh dengan kesadaran dari berbagai alternatif yang ditawarkan, memberikan pengalaman-pengalaman dan pemahaman yang dapat memupuk berkembangnya komitmen yang benar terhadap nilai-nilai dan prinsip yang memberdayakan sebuah masyarakat bebas untuk tetap bertahan. Disisi lain, bukan hanya meningkatkan partisipasi warga negara, tetapi juga menanamkan partisipasi yang berkompeten dan bertanggungjawab didasarkan pada perenungan (refleksi), pengetahuan dan tanggung jawab moral.

Masalah pendidikan

Peroblematika terbesar dalam pendidikan adalah ketika pemerintah tidak lagi menjamin status social masayarakat untuk bersekolah (khususnya) bagi orang-orang miskin. Namun, mahalnya biaya merupakan salah satu indicator utama dalam peningkatan angka putus sekolah. Data Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), menyebutkan bahwa angka putus sekolah pada tingkat SMA dari 33 provinsi mencapai angka 3,29%. Angka ini meningkat dari tahun sebelumnya sebesar 1,81% dari jumlah 3.497,420 siswa. Sementara untuk tingkat SMP, dari jumlah total 8.073.389 siswa, angka putus sekolah mencapai 232.834 atau 2,88%. Tahun sebelumnya adalah 148,890 siswa atau 1,97. hal ini juga akan memicu makin tinginya angka pengangguran di Indonesia.

Bukan hanya masalah biaya pendidikan yang mahal, tapi juga kurang optimalnya pelaksanaan pendidikan di Indonesia. Pada dasarnya kurikulum yang ada sudah menunjukkan bahwa bangsa ini bangkit dari keterpurukan, pasalnya kurikulum Indonesia tidak kalah menarik dari Negara-negara maju. Namun, yang menjadi persoalan adalah ketika sistem itu tidak dijalankan sebagaimana mestinya. padahal dalam UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, menegaskan dalam pasal 11 ayat 1 yang bunyi: pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga Negara tanpa diskriminasi.

Anggaran penddikan yang telah di amanatkan secara langsung oleh UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945, dalam pasal 31 ayat 4 yang berbunyi �?oNegara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional�?�.

Bahkan terhadap pengalokasian anggaran pendidikan tersebut telah di tegaskan kembali pada pasal 49 ayat 1 UU No. 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS, �?o dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan di alokasikan minimal 20 % dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20 % dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)�?�.

Subsidi Biaya Oprasional Sekolah (BOS) yang dilakukan pemerintah belum menjawab persoalan di dunia pendidikan kita. Karena itu campur tangan dari pemerintah daerah sangat diperlukan. Jika memang pemerintah menginginkan kualiatas pendidikan bertarap internasional, seharusnya tidak hanya melihat dari satu factor saja melainkan banyak factor pendukung yang perlu diperhatikan.

Kondisi tidak menguntungkan diperparah dengan keberadaan kurikulum kita yang selalu ganti setiap tahun. Ditambah lagi masalah kebocoran soal Ujian Naional (UN), karena UN merupakan lahan empuk manipulasi. Pada pelaksanaannya tahun 2007, sejimlah kasus kesalahan prosedur dan kecurangan bermunculan. Setidaknya ada 37 kasus kesalahan prosedur dan dugaan kecurangan UN tercatat inspektorat jenderal Departemen Pendidikan Nasional.

Dilain pihak, sara prasarana pendidikan turut menjadi �?~duri�?T dalam dunia pendidikan. Hal ini diperkuat dengan data depdiknas pada 2005-2006 yang menyatakan bahwa kerusakan kelas untuk tingkat dasar (SD) mencapai 25,72%, sementara untuk tingkat SMP dan SMA masing-masing sebanyak 4,85% dan 2,74%.

Disisi lain, buruknya kualitas guru menambah daftar beban bangsa. Pada kenyataanya banyak guru yang belum memiliki kualifikasi pendidikan S-1, seperti yangdiisyaratkan Undang-Undang (UU) No 14/2005 tentang guru dan dosen. Selain itu, banyak guru yang mengajar tidak sesuai dengan latar belakang bidang ilmu yang dimiliki. Misalnya, guru berlatar belakang IPS mengajar IPA. Padahal sangat jelas bahwa guru itu tidak memiliki kompetensi untuk mengajar pada bidangnya, maka disinilah the righ on the righ pleace harus diperhatikan betul.

Data DEPDIKNAS pada tahun 2005-2006, perentase guru layak mencapai 85,63% untuk SD negeri sementara SD swasta 74,11%. Di Indonesia hanya sepertiga guru berlatar belakakang pendidikan setara sarjana. Diantara negara-negara berpenduduk besar, hanya Brazil dan Meksiko yang memiliki guru berlatar belakang pendidikan memadai. Sementara di China, India, Nigeria, dan Pakistan, jumlah jumlah guru yang berpendidikan sarjana pendidikan, masih di bawah 40 persen. Oleh karena itu, upaya perbaikan apapun yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan tidak akan berhasil tanpa didukung oleh guru yang profesional dan berkualitas. Dengan kata lain, perbaikan kualitas pendidikan harus berpangkal dari guru dan berujung pada guru pula.

Guru memegang peran utama dalam pembangunan pendidikan, khususnya yang diselenggarakan secara formal di sekolah. Guru juga sangat menentukan keberhasilan peserta didik, terutama dalam kaitannya dengan proses belajar mengajar. Guru merupakan komponen yang paling berpengaruh terhadap terciptanya proses dan hasil pendidikan yang berkualitas.

Walaupun kompetensi bukanlah suatu titik akhir dari suatu upaya melainkan suatu proses yang berkembang dan belajar sepanjang masa (lifelong learning process), namun ini menjadi suatu tantangan bagi kita semua khususnya para guru yang notabenenya sebagai tenaga pengajar di sekolah harus mampu melakukan perbaikan-perbaikan dalam mengajar. Sebagaimana yang telah dikemukakan di atas bahwa guru harus betul-betul memahami secara matang bahan ajar yang akan diajarkan kepada siswa.

Jika kondisi ini, tetap berada pada posisi statis maka pendidikan Indonesia tidak akan maju. Selama ini kesan kuat bahwa pendidikan yang berkualitas mesti bermodal/berbiaya besar. Tapi oleh pemerintah, tidak ditanggapi, alih-alih keinginan kuat para penguasa bertekad memajukan bangsa lewat pendidikan hanya sebagai wacana belaka. Kalau seperti ini siapa yang harus kita salahkan?????????? Semua ini bukan hanya pemerintah yang bertanggung jawab tapi kita semua harus bersama-sama membangun kembali sejarah perjuangan bangsa hingga sampai meredeka saat ini. Perjuangan pemerintah pun tidak hanya berhenti pada satu permasalahan saja, yang terpenting menurut penulis adalah menciptakan pendidikan yang mengasyikkan dan tidak membebankan. Kemudian penetapan UN sebagai standar kelulusan harus dikaji ulang. Apakah pendidikan kita sudah berada dalam kondisi terbaiknya atau malah sebaliknya.

0 komentar: